pasang iklan

Selasa, 23 Juni 2015

I WANNA GO



I WANNA GO
Malam yg sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut membelai lembut rambutku. Menemaniku yg tengah sendiri menatap indahnya bumi. Sebagai teman paling setia di kesendirianku dalam ke tidakadilan ini.

“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.

Tiba-tiba pintu kamarku di ketuk dengan cukup pelan.

“pasti bi Ijah”. Tebakku.

“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.

“maaf non, waktunya makan malam. Yg lain sudah ngumpul dibawah”. Ucap bi Ijah saat pintu kamarku terbuka.

“oke bi, Shaqila juga udah laper banget” candaku padanya.

Bi Ijah adalah seseorang yg merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti ibu kandungku. Dirumahku, hanya bi Ijah yg peduli dengan keadannku. Disaat aku sakit, hanya ia yg selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yg selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nila rapotku jauh dari nilai kak Ina. Hanya ia yg tahu betapa aku ingin seperti kak Ina, saudara kembarku.

“wahh ada ayam penyet nih. Heem maknyus” ucapku seraya menduduki kursi favoritku.

“dasar gak sopan..” sindir Papa padaku.

“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek” timpal kakakku, Ita.

“iya Shaqila, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit La” tambah kak Ina.

“iya La, betul tuh kata kak Ina. Contoh dia” tambah Mama lagi.

“oke, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.

Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikit pun menyentuh makanan disana. Padahal sebenernya maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yg aku sayangi.

****

Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yg pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya yg menerpa mataku.

“humph, udah pagi toh” ucapku pada diri sendiri.

Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris ungu yg lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi bi Ijah yg ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.

“makasih ya bi, Shaqila sayang Bibi” ucapku dengan tulus padanya.

“iya non, bibi juga sayang banget sama non Shaqila. Semangat ya non sekolahnya” sahut bi Ijah.

Setibanya di sekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris. Pelajaran menghitung yg sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak Ina yg jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau Bahasa Inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah.
Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa Inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yg semasa di Bekasi sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika dengan anaknya, Justin.

******

Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Ina berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada di kelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekoalh dasar. Kalau kak Ina sengaja Papa sekolahkan di sekolah terfavorit di Bekasi, sedangkan aku bersekolah di SMA yg di dalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yg tidak menerima kami. Karena nillai ku tak sehebat nilai kak Ina dan kak Ita. Mereka memiliki IQ yg jauh lebih tinggi daripada aku.

“Pa, ambilin raport Shaqila ya” pintaku.

“Papa sudah janji sama Ina kalau Papa yg akan mengambil raportnya. Kalian kn beda sekolah” jawab Papaku.

“Ma, ambilin raport Shaqila ya!” pintaku lagi pada Mama.

“Mama sudah janji dengan kak Ita ngambilin raportnya, dia kn sudah kelas tiga jadi harus diwakilin” jawab Mama.

“oh gitu ya” balasku dengan kecewa.

Aku hanya bisa menangis sendirian di dalam kamar. Tidak ada satu orangpun yg mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah bi Ijah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.

“gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran.

“non Shaqila juara satu non” ucap bi Ijah dengan semangat.

“hah? Beneran bi?” shutku tak kalah semangat.

Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Ina.

*****

Setibanya dirumah, semua orang yg yg sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Ina dan kak Ita menjadi terdiam disaat kedatanganku dan bi Ijah.

“gimana hasilnya La? Pasti jelek.” Ucap kak Ita menyindirku.

“gak kok, aku juara 1” ucapku dengan semangat.

“ah, juara 1 di sekolahmu pasti juara terakhir di kelas Ina” ledek Papa padaku.

Aku kecewa, bener-bener kecewa karena semua prestasi yg kuraih tak pernah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, keratapi semua ketidak adilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua hari pun tidak ada yg peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing,tak terkecuali bi Ijah yg hampir setiap jam membujukku untuk keluar.
Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yg biasanya.

“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku.

Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar suara yg sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga om Frans sudah tiba di Bekasi untuk berlibur bersama keluarga kami.

“Justin? Aku merindukanmu”. Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.

Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Ijah pulang ke kampung karena orangtuanya sakit. Sedangkan yg lain sedang makan malam di restaurant. Dan aku tertinggal disini.

*****

Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya ke mulutku. Sedangkan yg lain sedang asik berbincang-bincang dengan topik kak Ina dan kak Ita. Yg aku tau, mereka terus membanggakan dua orang yg berprestasi tersebut. Hingga om Frans dan tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yg ternyata disana ada kak Ina dan seseorang yg sangat aku sayangi, kak Justin. Disana, akub sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Ina. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tau, bahwa kak Justin telah melupakanku.

*****

Akhirnya hari yg telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsyng. Namun sayang, semua orang yg kusayangi tak ada yg mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Ina, Olimpiade Sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Shaqila yg hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate Nasional yg diadakan di Jakarta.

“kita panggil, juara Nasional karate tahun ini. Shaqila Martiana dari Bekasi!” panggil pembawa acara.

Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat di hargai disini.

*****

Setibanya dirumah, kuletakan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Ina dan yg lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Ina malah menangis dan berlari menuju kamarnya.

“kamu sengaja meledek kak Ina?”. Tanya Papa dengan sinis.

“gak Pa! Maksud Papa apasih?”. Tanyaku tak mengerti.

“kak Ina kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. Kamu tau kn bahwa ruang ini hanya foto-foto keberhasilan kak Ina yg boleh menempatinya”. Jawab Papa yg membuat ku sangat kecewa.

“lepas fotomu!!”. Ucap Mama dengan agak ketus padaku.

Kulepas foto yg sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yg sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri setiap kak Ina dipuji dan disanjung oleh Papa dan Mama, serta semua ta,u yg pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah.

“apakah aku anak kandungmu, Ma? Pa?”

Pertanyaan yg tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yg selalu tersingkirkan oleh ketidak adilan.

****

Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Ina menjadi seseorang yg terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yg tertekan karena ia kalah Olimpiade. Yg ku tahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari yg biasanya.
“udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangatinya.

“udahlah La, kamu senengkan ngeliat akuu kayak gini? Kamu kamu senengkan ngeliat aku kalah?”. Jawabnya dengan menangis.

“Gak kak, gak. Aku gak pernah ada niatan kayak gitu.” Sahutku.

“udahlah, pergi kamu dari kamarku, per...” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat di depanku.

“Pa, Ma, tolong kak Ina. Kak Ina pingsan Pa!” beritahuku.

“apa? Kamu apain sih dia?” tanya Papa sinis padaku.

“aku..aku gak ngapa-ngapain dia pa”. Sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.

“pasti penyakitnya kambuh lagi Pa, ayo cepat kita bawa ke rumah sakit” ucap Mama pada Papa.

****

Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Ina. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yg sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yg aku tau, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.

“hanya saudara kembarnya yg ginjalnya cocok dengan Ina. Jadi usahakan dengan secepat mungkin didakan pencangkokan ginjal Pak.” Beritahu dokter pada Papa.

Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yg menyayangi kak Ina. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Ina, tapi aku tak ingin ada yg tau semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yg telah memberikan satu ginjal pada  saudara kembarku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.

“ahh sudahlah La, kamu memang saudara yg kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yg baik hati yg mau menyumbangkan pada Ina.” Ucap Papa.

“aku kecewa sama kamu La, tega ya kamu  sama kakak kamu sendiri.” Ucap Justin dengan kecewa padaku.

“siapa yg mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Ita.

“entahlah, pendonor itu tidak mau memberitahukan namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Ina. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab Papa.

“andaikan kalian tau kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.

****

Beberapa jam sebelum operasi pecangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yg aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangay lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu ku titipkan pada bi Ijah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.




(Ruang Operasi)

Ruang ini terasa begitu menakutkan. Semua benda yg kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yg terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yg tau siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Ina dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga alhirnya ak dibius, dan kurasakan semuanya gelap.

****

Seminggu kemudian...

“akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu di operasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mama dengan penuh kasih sayang.

“dan Happy Birthday Ina..” ucap semua orang serentak.

“makasih ya semuanya. Aku senang bangett. Oya, Shaqila mana ya Ma? Gak tau kenapa Ina kepikiran dia terus. Hari ini kn ulang tahun kami.” Sahut Ina.

“iya ya? Mana dia bi?” tanya Mama pada bi Ijah.

“sebentar nyonya.” Jawab bi Ijah dengan berlari menuju kamar Shaqila.

Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.

“ini surat dari Non Shaqila sebelum pergi.” Beritahu bi Ijah.

Walau agak heran, Mama pun membacanya dengan agak keras.

“untuk semua orang yg sangat Shaqila sayang, mungkin saat kalian baca surat ini Shaqila gak ada lagi disini. Shaqila udah pergi ketempat yg sangat jauh. Oya, gimana kabar kak Ina? Gak sakit lagi kn? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yg belum terwujud.
Teruntuk Papa yg sangat kurindukan. Gimana Pa? Rumah kita udah tenang belum? Gak ada yg gak sopan lagi kn? Oh pasti gak ada dong ya? Ya iyalah, Shaqila si pembuat onar kn udah gak ada.
Teruntuk Mama yg sangat kurindukan. Ma, Shaqila pasti akan sangat rindu dengan Teddy Bear pemberian Mama lima tahun lalu. Ma, Shaqila kangenn banget pelukan Mama. Shaqila selalu iri saat Mama hanya mencium kak Ina disaat tidur. Shaqila iri melihat Mama yg selalu menyemangati kak Ina disaat ia sedang sedih. Shaqila iri dengan semua perhatian yg Mama berikan pada kak Ita dan kak Ina. Shaqila sangat iri.
Teruntuk kak Ita dan saudara kembarku, kak Ina. Gimana kak? Gak ada lagi kn yg ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kn yg nyetal musik keras-keras? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yg membuat kalian malu karena punya saudara yg bodoh bukan? Oh pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YG KE-17 TAHUN. Yg mungkin tak pernah aku rasakan.
Kalian harus tau, betapa aku sangat menyayangi kalian. Mungkin dengan kepergianku, semuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram. Shaqila harap, gak akan ada lagi yg terkucilkan seperti Shaqila. Yg selalu menangis setiap malam. Yg selalu merindukan hangatnya kekeluargaan.
Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti aku yg selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan.
SEMOGA KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA SHAQILA. AAMIIN...”

Semua yg mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada bi Ijah dimana Shaqila. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi..

“iya, saya Dimas, ada apa ya?”. Tanya Papa dengan penasaran.

Dan sesaat kemudian Papa menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke rumah sakit. Dan mereka terlambat, Shaqila telah pergi untuk selama-lamanya. Dan meninggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yg jatuh dari. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidak adilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yg telah pergi untuk selama-lamanya..



Writer : "A"
Posted on by RAteam | No comments

0 komentar:

Posting Komentar