I WANNA GO
Malam yg sejuk mengiringi kesepianku. Angin
malam turut membelai lembut rambutku. Menemaniku yg tengah sendiri menatap
indahnya bumi. Sebagai teman paling setia di kesendirianku dalam ke tidakadilan
ini.
“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?”
tanyaku dalam pengharapan.
Tiba-tiba pintu kamarku di ketuk dengan cukup
pelan.
“pasti bi Ijah”. Tebakku.
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari
serambi kamar.
“maaf non, waktunya makan malam. Yg lain sudah
ngumpul dibawah”. Ucap bi Ijah saat pintu kamarku terbuka.
“oke bi, Shaqila juga udah laper banget”
candaku padanya.
Bi Ijah adalah seseorang yg merawatku sejak
lahir. Bagiku, ia sudah seperti ibu kandungku. Dirumahku, hanya bi Ijah yg
peduli dengan keadannku. Disaat aku sakit, hanya ia yg selalu repot menyiapkan
obat, hanya ia yg selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nila rapotku jauh dari
nilai kak Ina. Hanya ia yg tahu betapa aku ingin seperti kak Ina, saudara
kembarku.
“wahh ada ayam penyet nih. Heem maknyus”
ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“dasar gak sopan..” sindir Papa padaku.
“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek”
timpal kakakku, Ita.
“iya Shaqila, kamu duduk dulu baru ngomong,
kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit La” tambah kak Ina.
“iya La, betul tuh kata kak Ina. Contoh dia”
tambah Mama lagi.
“oke, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku
dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa
sedikit pun menyentuh makanan disana. Padahal sebenernya maagku kambuh dan
rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan
kasih sayang dari semua orang yg aku sayangi.
****
Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yg
pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya yg
menerpa mataku.
“humph, udah pagi toh” ucapku pada diri
sendiri.
Aku bergegas mandi dan memakai pakaian
sekolahku. Dengan aksesoris ungu yg lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan.
Aku hanya mengunjungi bi Ijah yg ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“makasih ya bi, Shaqila sayang Bibi” ucapku
dengan tulus padanya.
“iya non, bibi juga sayang banget sama non
Shaqila. Semangat ya non sekolahnya” sahut bi Ijah.
Setibanya di sekolah, aku segera menuju
ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris.
Pelajaran menghitung yg sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak
Ina yg jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun.
Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau Bahasa Inggris, inilah
kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah.
Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat
berbahasa Inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yg semasa di Bekasi sangat
menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah
pindah ke Amerika dengan anaknya, Justin.
******
Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat,
kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Ina berbeda
kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada di kelas satu SMA, sedangkan ia sudah
berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu
disekoalh dasar. Kalau kak Ina sengaja Papa sekolahkan di sekolah terfavorit di
Bekasi, sedangkan aku bersekolah di SMA yg di dalamnya hanyalah siswa buangan
dari sekolah lain yg tidak menerima kami. Karena nillai ku tak sehebat nilai
kak Ina dan kak Ita. Mereka memiliki IQ yg jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa, ambilin raport Shaqila ya” pintaku.
“Papa sudah janji sama Ina kalau Papa yg akan
mengambil raportnya. Kalian kn beda sekolah” jawab Papaku.
“Ma, ambilin raport Shaqila ya!” pintaku lagi
pada Mama.
“Mama sudah janji dengan kak Ita ngambilin
raportnya, dia kn sudah kelas tiga jadi harus diwakilin” jawab Mama.
“oh gitu ya” balasku dengan kecewa.
Aku hanya bisa menangis sendirian di dalam
kamar. Tidak ada satu orangpun yg mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir
adalah bi Ijah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.
“gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan
penasaran.
“non Shaqila juara satu non” ucap bi Ijah
dengan semangat.
“hah? Beneran bi?” shutku tak kalah semangat.
Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku
bisa menyamai prestasi kak Ina.
*****
Setibanya dirumah, semua orang yg yg sedang
tertawa ria melihat hasil belajar kak Ina dan kak Ita menjadi terdiam disaat
kedatanganku dan bi Ijah.
“gimana hasilnya La? Pasti jelek.” Ucap kak
Ita menyindirku.
“gak kok, aku juara 1” ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1 di sekolahmu pasti juara terakhir
di kelas Ina” ledek Papa padaku.
Aku kecewa, bener-bener kecewa karena semua
prestasi yg kuraih tak pernah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari
menuju kamarku, keratapi semua ketidak adilan ini. Aku tidak keluar kamar
selama dua hari pun tidak ada yg peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan
pekerjaannya masing-masing,tak terkecuali bi Ijah yg hampir setiap jam
membujukku untuk keluar.
Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yg
biasanya.
“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku.
Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba
rumahku terdengar suara yg sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga om Frans
sudah tiba di Bekasi untuk berlibur bersama keluarga kami.
“Justin? Aku merindukanmu”. Ucapku dengan
tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun
ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar
berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia,
semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Ijah
pulang ke kampung karena orangtuanya sakit. Sedangkan yg lain sedang makan
malam di restaurant. Dan aku tertinggal disini.
*****
Aku hanya makan dan terus memasukkan roti
berselai srikaya ke mulutku. Sedangkan yg lain sedang asik berbincang-bincang
dengan topik kak Ina dan kak Ita. Yg aku tau, mereka terus membanggakan dua
orang yg berprestasi tersebut. Hingga om Frans dan tante Siska juga turut
berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis,
aku segera pamit menuju taman belakang yg ternyata disana ada kak Ina dan
seseorang yg sangat aku sayangi, kak Justin. Disana, akub sedang melihatnya
memberikan setangkai mawar pada kak Ina. Ternyata mereka sudah jadian dan aku
tau, bahwa kak Justin telah melupakanku.
*****
Akhirnya hari yg telah lama kunantikan tiba
juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsyng. Namun sayang, semua
orang yg kusayangi tak ada yg mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba
kak Ina, Olimpiade Sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku
adalah Shaqila yg hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu
dipertandingan karate Nasional yg diadakan di Jakarta.
“kita panggil, juara Nasional karate tahun
ini. Shaqila Martiana dari Bekasi!” panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki
podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat di hargai disini.
*****
Setibanya dirumah, kuletakan foto
keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Ina dan yg lainnya,
kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Ina
malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu sengaja meledek kak Ina?”. Tanya Papa
dengan sinis.
“gak Pa! Maksud Papa apasih?”. Tanyaku tak
mengerti.
“kak Ina kalah sedangkan kamu menyombongkan
diri dengan memajang fotomu diruang ini. Kamu tau kn bahwa ruang ini hanya
foto-foto keberhasilan kak Ina yg boleh menempatinya”. Jawab Papa yg membuat ku
sangat kecewa.
“lepas fotomu!!”. Ucap Mama dengan agak ketus
padaku.
Kulepas foto yg sangat aku harapkan menjadi
penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yg sejak dulu selalu ku
inginkan. Karena aku selalu iri setiap kak Ina dipuji dan disanjung oleh Papa
dan Mama, serta semua ta,u yg pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan
terbesarku adalah.
“apakah aku anak kandungmu, Ma? Pa?”
Pertanyaan yg tak pernah terjawab oleh lisan,
namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yg selalu
tersingkirkan oleh ketidak adilan.
****
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak
itu pula kak Ina menjadi seseorang yg terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya
yg tertekan karena ia kalah Olimpiade. Yg ku tahu, saudara kembarku ini
terlihat lemah dari yg biasanya.
“udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin
terus.” Ucapku menyemangatinya.
“udahlah La, kamu senengkan ngeliat akuu kayak
gini? Kamu kamu senengkan ngeliat aku kalah?”. Jawabnya dengan menangis.
“Gak kak, gak. Aku gak pernah ada niatan kayak
gitu.” Sahutku.
“udahlah, pergi kamu dari kamarku, per...”
ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat di depanku.
“Pa, Ma, tolong kak Ina. Kak Ina pingsan Pa!”
beritahuku.
“apa? Kamu apain sih dia?” tanya Papa sinis
padaku.
“aku..aku gak ngapa-ngapain dia pa”. Sahutku
dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi Pa, ayo cepat
kita bawa ke rumah sakit” ucap Mama pada Papa.
****
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku
dengan kak Ina. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yg sangat aku
sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yg aku tau,
kini ginjalnya hanya satu setelah setahun lalu satu ginjalnya sudah diangkat.
Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya saudara kembarnya yg ginjalnya cocok
dengan Ina. Jadi usahakan dengan secepat mungkin didakan pencangkokan ginjal
Pak.” Beritahu dokter pada Papa.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang
yg menyayangi kak Ina. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku
padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku
pada kak Ina, tapi aku tak ingin ada yg tau semuanya. Karena aku tidak mau
mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yg telah memberikan satu
ginjal pada saudara kembarku. Aku hanya
ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku
mendapatkannya.
“ahh sudahlah La, kamu memang saudara yg
kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang
yg baik hati yg mau menyumbangkan pada Ina.” Ucap Papa.
“aku kecewa sama kamu La, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Justin dengan
kecewa padaku.
“siapa yg mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak
Ita.
“entahlah, pendonor itu tidak mau
memberitahukan namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada
Ina. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab Papa.
“andaikan kalian tau kalau itu aku? Apakah aku
akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.
****
Beberapa jam sebelum operasi pecangkokan
dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yg aku sayangi. Entahlah,
aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangay lelah
dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu ku titipkan pada bi
Ijah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.
(Ruang Operasi)
Ruang ini terasa begitu menakutkan. Semua
benda yg kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yg terlihat
menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yg tau
siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Ina dipisahkan oleh dinding pembatas.
Hingga alhirnya ak dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
****
Seminggu kemudian...
“akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama
khawatir banget sama kamu sejak kamu di operasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap
Mama dengan penuh kasih sayang.
“dan Happy Birthday Ina..” ucap semua orang
serentak.
“makasih ya semuanya. Aku senang bangett. Oya,
Shaqila mana ya Ma? Gak tau kenapa Ina kepikiran dia terus. Hari ini kn ulang
tahun kami.” Sahut Ina.
“iya ya? Mana dia bi?” tanya Mama pada bi
Ijah.
“sebentar nyonya.” Jawab bi Ijah dengan
berlari menuju kamar Shaqila.
Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan
membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Shaqila sebelum pergi.”
Beritahu bi Ijah.
Walau agak heran, Mama pun membacanya dengan
agak keras.
“untuk semua orang yg sangat Shaqila sayang,
mungkin saat kalian baca surat ini Shaqila gak ada lagi disini. Shaqila udah
pergi ketempat yg sangat jauh. Oya, gimana kabar kak Ina? Gak sakit lagi kn?
Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yg belum
terwujud.
Teruntuk Papa yg sangat kurindukan. Gimana Pa?
Rumah kita udah tenang belum? Gak ada yg gak sopan lagi kn? Oh pasti gak ada
dong ya? Ya iyalah, Shaqila si pembuat onar kn udah gak ada.
Teruntuk Mama yg sangat kurindukan. Ma,
Shaqila pasti akan sangat rindu dengan Teddy Bear pemberian Mama lima tahun
lalu. Ma, Shaqila kangenn banget pelukan Mama. Shaqila selalu iri saat Mama hanya
mencium kak Ina disaat tidur. Shaqila iri melihat Mama yg selalu menyemangati
kak Ina disaat ia sedang sedih. Shaqila iri dengan semua perhatian yg Mama
berikan pada kak Ita dan kak Ina. Shaqila sangat iri.
Teruntuk kak Ita dan saudara kembarku, kak Ina.
Gimana kak? Gak ada lagi kn yg ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kn yg nyetal
musik keras-keras? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yg
membuat kalian malu karena punya saudara yg bodoh bukan? Oh pastinya. Oya,
SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YG KE-17 TAHUN. Yg mungkin
tak pernah aku rasakan.
Kalian harus tau, betapa aku sangat menyayangi
kalian. Mungkin dengan kepergianku, semuanya akan tenang dan rumah kita menjadi
tentram. Shaqila harap, gak akan ada lagi yg terkucilkan seperti Shaqila. Yg
selalu menangis setiap malam. Yg selalu merindukan hangatnya kekeluargaan.
Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu
bagaimana kalian akan mengenangku, seperti aku yg selalu mengenang kalian
setiap malam dengan tangisan.
SEMOGA KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA SHAQILA.
AAMIIN...”
Semua yg mendengar menangis. Mereka
bertanya-tanya pada bi Ijah dimana Shaqila. Namun tiba-tiba telepon rumah
berbunyi..
“iya, saya Dimas, ada apa ya?”. Tanya Papa
dengan penasaran.
Dan sesaat kemudian Papa menangis dan segera
mengajak anggota keluarganya ke rumah sakit. Dan mereka terlambat, Shaqila
telah pergi untuk selama-lamanya. Dan meninggalkan berjuta penyesalan disetiap
tangis yg jatuh dari. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidak adilan selama
hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yg telah pergi untuk
selama-lamanya..
Writer : "A"
Writer : "A"
0 komentar:
Posting Komentar